ROI GONZALES SILALAHI: Investasi Vs Disinsentif

Logo Gunadarma

Logo Gunadarma

Thursday, 3 November 2011

Investasi Vs Disinsentif

Globalisasi diiringi ratifikasi perdagangan bebas di berbagai sektor telah membawa RI menjadi pasar empuk bagi barang-barang impor. Dari produk berteknologi tinggi hingga rumah tangga, menyerbu pasar kita hingga tak jarang meminggirkan produk lokal. Ironisnya, banyak prinsipal enggan membangun pabrik di sini karena berbagai alasan.

Salah satu contoh yang kini menjadi sorotan publik adalah keengganan Research in Imotion (RIM) yang memproduksi BlackBerry (BB) membangun pabrik di Indonesia. Padahal, handset besutan RIM itu telah menjadi ‘candu’ bagi masyarakat hingga penjualannya ditaksir mencapai 4 juta unit tahun ini, jauh mengalahkan pasar negara-negara Asia lainnya. Jika dirata-rata harga BB per unitnya Rp 3 juta, omzet RIM di Indonesia per tahunnya mencapai Rp 12 triliun. Perkembangan penjualan BB di Indonesia termasuk yang paling pesat di dunia.

Sangatlah disayangkan jika negeri ini hanya dijadikan pasar, sementara kontribusi perusahaan asing sangat minim dalam pembangunan. Apalagi, dalam berbagai hal, negara lain tidak menerapkan asas resiprokal secara adil. Di sektor perbankan, misalnya, bank-bank nasional kesulitan untuk membuka cabang di negara lain, padahal bank-bank asing di sini memenuhi jalanan utama Sudirman-Thamrin. Celakanya lagi, negara tetangga kita acapkali ‘menjual nama’ Indonesia untuk menarik investasi di negeri mereka.

Menurut laporan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Singapura dan Malaysia menawarkan pasar RI kepada investor agar mereka berinvestasi di kedua negara tersebut. Alasannya, kedua negara itu dekat dengan Indonesia yang pasarnya besar dan bahan bakunya melimpah. Ini tentunya sangat menyakitkan. Apalagi, ditengarai perusahaan yang tidak mau membangun industrinya di Indonesia tak hanya RIM, tetapi banyak, seperti Bosch dari Jerman yang memproduksi solar panel. Barry Callebout, pabrik cokelat yang cukup terkenal juga memilih Singapura sebagai basis produksinya, padahal Singapura tak mempunyai kebun kakao.

Bangsa ini harus cerdas menghadapi era globalisasi yang mengedepankan sisi perdagangan bebas dengan skema non tariff barrier (tak ada hambatan tarif). Perdagangan bebas bukan berarti membuka pintu pasar kita selebar-lebarnya untuk dieksploitasi produk luar, tetapi kehadiran mereka harus mampu meningkatkan nilai tambah untuk negeri ini, salah satunya membuka lapangan kerja agar terjadi transfer knowledge. Apalagi, tingginya tingkat pengangguran masih menjadi masalah laten di negeri ini.

Hal itu jua yang menyebabkan Menteri Perindustrian dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berencana memukul palu godam berupa disinsentif bagi perusahaan yang produknya masif dijual di Indonesia tetapi tidak mau berinvestasi di sini. Rencananya, disinsentif itu berupa pengenaan pajak barang mewah (PPn-BM).

Kita mengapresiasi kebijakan yang bermuara pada national interest, karena ekonomi negeri ini telah ‘terjajah’ dan kita lebih banyak menjadi penonton di pasar sendiri. Namun apakah kebijakan itu efektif? Banyak kontroversi karena pengenaan PPn-BM akan menyebabkan harga produk BB menjadi mahal. Dampaknya, bisa jadi orang-orang kita belanja BB ke Malaysia untuk mendapatkan harga lebih murah. Ini bisa menyebabkan devisa lebih banyak keluar.

Selain itu, akan muncul black market yang justru tidak kena pajak. Tak ada salahnya kita introspeksi atas berbagai kasus yang menyebabkan banyak perusahaan enggan masuk ke Indonesia. Realitasnya, daya saing kita memang masih rendah. Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2011-2012 yang dikeluarkan World Economic Forum, peringkat daya saing RI turun dari urutan 44 menjadi 46 dari 142 negara. Pada sektor pembangunan fasilitas pelabuhan, Indonesia turun tujuh peringkat ke posisi 103, ketersediaan pasokan listrik menempati urutan 89, layanan institusi publik turun 10 peringkat menjadi 71.  Terkait efisiensi tenaga kerja, RI menempati peringkat 94, sama dengan level kesiapan teknologi yang dianggap masih lamban.

Daya saing RI tertolong oleh kuatnya fundamental makro ekonomi, seperti kebijakan fiskal yang prudent, defisit anggaran dan inflasi terkendali, serta pertumbuhan ekonomi yang cukup prospektif. Untuk kondisi makro ekonomi, RI menempati peringkat 23, melesat dibanding 2007 yang masih berada di level 89. Harus disadari, hingga saat ini ada tiga masalah yang membuat asing enggan investasi langsung ke Indonesia.

Pertama, sulitnya pembebasan tanah (land acquistion). Kedua, minimnya infrastruktur. Ketiga, terbatasnya kawasan industri di Indonesia. Saat ini ada sekitar 59 kawasan industri tetapi rata-rata kapasitasnya sudah penuh. Siapa pun kita pasti geram melihat RI hanya menjadi pasar produk asing. Pertanyaannya, efektifkah kebijakan disinsentif untuk menarik investasi langsung? Selama PR hambatan investasi tidak dikerjakan, kebijakan disinsentif justru bisa kontraproduktif dan merugikan konsumen.


sumber : http://www.investor.co.id/home/investasi-vs-disinsentif/19775

No comments:

Post a Comment